A.
Definisi
Tasawuf
Istilah "tasawuf", yang
telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan
bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa.
Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang
berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut
pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang
berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur
sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti
baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris
pertama dalam salat atau dalam perang suci.
Kata
sufi mulanya muncul pada abad ke-9. Asal usul kata ini dibahas oleh hujwiri
pada abad ke-11. Ia mengemukakan nama itu mungkin berasal dari kata shuf (yang
berarti wol), karena kaum sufi memakai busana wol. Atau dari ahli suffah, nama
yang dilekatkan pada orang-orang yang tinggal diberanda masjid Nabi Muhamad.
Atau dari shaft (yang berarti kesucian). Nabi Muhamad menyatakan “Barang siapa
mengenal dirinya, maka ia mengenal penciptanya”. Tasawuf adalah jalan kembali
kekeadaan azali manusia, jalan yang ditempuh untuk menemukan makna dan tujuan,
untuk mencapai ketenangan dan kehidupan abadi, jalan yang ditempuh orang untuk
bisa pulang kerumah. Dalam literatur barat, tasawuf sering disebut mistisme
Islam. Sebab ia adalah jalan bagi pengalaman pribadi tentang cinta ilahi dan ia
mencakup pemahaman ektase yang dikenal dengan mistis. Tasawuf berarti mengalami
dan menghayati realitas agama, penemuan dan realitas yang dicanangkan oleh
semua Nabi. Semua orang di karuniai potensi untuk menemukan rahasia kehidupan
ini. Pengalaman tidak bisa dicapai melalui nalar dan logika, melainkan harus
datang dari lubuk hati terdalam. Tasawuf adalah Islam, karena Islam berarti
berserah diri kepada Tuhan, dan tujuan Tasawuf adalah berserah diri kepada
Tuhan, syarat untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sang kekasih.
B.
Definisi Ilmu Jiwa Agama
Dengan melihat
pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil
pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar
pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup
pada umumnya. Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu jiwa agama
yakni ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata
cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat
dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi
kepribadiannya.
Yang menjadi objek dan
lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala- gejala kejiwaan dalam
kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara keduannya.
Dengan kata lain, psikologia agama membahas tentang kesadaran agama (religious
counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Dengan demikian,
yang menjadi lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan
dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan
sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan psikologi agama adalah
gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan,
kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya
secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya.
Untuk mengetahui secara
pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam
agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa.
Sebagai salah satu cabang ilmu yang masih muda, ilmu Jiwa Agama sampai sekarang
masih belum mendapat tempat yang wajar. Masih banyak ahli-ahli jiwa yang tidak
mengakui adanya satu cabang Ilmu jiwa, yang berdiri sendiri, yang tidak yang
khusus meneliti dan menyoroti masalah agama. Bahkan ada diantara orang-orang
yang fanatik beragama, merasa takut akan berkurangnya penghargaan terhadap
agama, apabila agama diteliti secara Ilmiah. Bahkan ada pula diantara ahli-ahli
jiwa, yang merasa tidak perlu agama diteliti dan dipelajari dari segi
psikologis, karena menurut anggapan mereka, metode-metode ilmiah-empiris tidak
dapat digunakan terhadap agama.
Namun demikian, cabang
Ilmu Jiwa yang masih muda itu tetap hidup dan berkembang untuk meneliti dan
menjawab berbagai macam persoalan, yang ada sangkut pautnya dengan kenyakinan
beragama. Berapa banyaknya peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang sukar
untuk dimengerti tanpa menghubungkanya dengan agama.
Sebagai Contoh, mari
kita perhatikan orang-orang dalam kehidupannya sehari-hari. Ada orang yang
tampaknya tenang, bahagia dan suka menolong orang, padahal hidupnya sangat
sederhana. Tengah malam ia bangun untuk mengabdi kepada tuhan. Sebaliknya ada
orang yang tampaknya serba cukup, harta banyak, pangkat tinggi kekuasaan besar
dan pengetahuab pun cukup, namun dalam hatinya penuh kegoncangan, jauh dari
kepuasan, dirumah tangga selalu cekcok dan kehidupannya merupakan rangkaian
dari kegoncangan dan ketidakpuasan.
Berapa banyak orang yang
berubah jalan hidup dan kenyakinannya dalam waktu yang sangat pendek, dari
seorang penjahat besar, tiba-tiba menjadi seorang yang baik, rajin dan tekun
beribadah, seolah-olah ia dalam waktu yang singkatdapat berubah menjadi orang
lain sama sekali. Dan sebaliknya juga ada terjadi, orang yang berubah dari
patuh dan tunduk kepada agama, menjadi orang yang lalai atau suka menentang
agama.
C.
Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa
Agama
Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu
penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk melalui kejiwaan kita sendiri
dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan segala sesuatu yang
telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya hubungan
dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa,
terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian
tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Seperti yang dikatakan
sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT
sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf lebih
mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam
hal ini ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar
pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup
pada umumnya.
Dalam pembahasan tasawuf
dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikendaki dari
uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya
keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para
sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia
dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari
sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.
Ditekankanya unsur jiwa
dalam konsepsi tasawuf tidak berarti mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur
ini juga penting karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan
kewajibannya dalam beribadah kepada Allah. Seorang tidak mungkin sampai kepada
Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat.
Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Pandangan mengenai jiwa
berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental yang merupakan bagian dari ilmu
jiwa (psikologi).
Tasawuf berusaha untuk
melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat
Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari
segala pengaruh penyakit jiwa.
Tasawuf
juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja,
jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari
sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan
unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat
adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf)
dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas
dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Orang yang sehat
mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, dan pada
mereka akan timbul perasaan tenang hatinya. Namun, bagi orang yang kurang sehat
mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan
itu menjelma menjadi prilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma
yang ada.
Harus diakui, jiwa
manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan
perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya
tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan
Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak
keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.
Semua
praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan
latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih
sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam
menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari
hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Dengan
demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena
salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki
ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit
psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.by,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar