Total Tayangan Halaman

Minggu, 29 Juli 2012

Akhlak Tasawuf


A.   Definisi Tasawuf
Istilah "tasawuf", yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci.
Kata sufi mulanya muncul pada abad ke-9. Asal usul kata ini dibahas oleh hujwiri pada abad ke-11. Ia mengemukakan nama itu mungkin berasal dari kata shuf (yang berarti wol), karena kaum sufi memakai busana wol. Atau dari ahli suffah, nama yang dilekatkan pada orang-orang yang tinggal diberanda masjid Nabi Muhamad. Atau dari shaft (yang berarti kesucian). Nabi Muhamad menyatakan “Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal penciptanya”. Tasawuf adalah jalan kembali kekeadaan azali manusia, jalan yang ditempuh untuk menemukan makna dan tujuan, untuk mencapai ketenangan dan kehidupan abadi, jalan yang ditempuh orang untuk bisa pulang kerumah. Dalam literatur barat, tasawuf sering disebut mistisme Islam. Sebab ia adalah jalan bagi pengalaman pribadi tentang cinta ilahi dan ia mencakup pemahaman ektase yang dikenal dengan mistis. Tasawuf berarti mengalami dan menghayati realitas agama, penemuan dan realitas yang dicanangkan oleh semua Nabi. Semua orang di karuniai potensi untuk menemukan rahasia kehidupan ini. Pengalaman tidak bisa dicapai melalui nalar dan logika, melainkan harus datang dari lubuk hati terdalam. Tasawuf adalah Islam, karena Islam berarti berserah diri kepada Tuhan, dan tujuan Tasawuf adalah berserah diri kepada Tuhan, syarat untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan sang kekasih.

B.   Definisi Ilmu Jiwa Agama
Dengan melihat pengertian psikologi dan agama serta objek yang dikaji, dapatlah diambil pengertian bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Dengan ungkapan lain, psikologi agama adalah ilmu jiwa agama yakni ilmu yang meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang yang menyangkut tata cara berpikir, bersikap, berkreasi dan bertingkah laku yang tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam konstruksi kepribadiannya.
Yang menjadi objek dan lapangan psikologi agama adalah menyangkut gejala- gejala kejiwaan dalam kaitannya dengan realisasi keagamaan (amaliah) dan mekanisme antara keduannya. Dengan kata lain, psikologia agama membahas tentang kesadaran agama (religious counciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Dengan demikian, yang menjadi lapangan kajian psikologi agama adalah proses beragama, perasaan dan kesadaran beragama dengan pengaruh dan akibat- akibat yang dirasakan sebagai hasil dari keyakinan. Sedangkan objek pembahasan psikologi agama adalah gejala- gejala psikis manusia yang berkaitan dengan tingkah laku keagamaan, kemudian mekanisme antara psikis manusia dengan tingkah laku keagamaannya secara timbal balik dan hubungan pengaruh antara satu dengan lainnya.
Untuk mengetahui secara pasti kapan agama diteliti secara psikologi memang agak sulit, sebab dalam agama itu sendiri telah terkandung didalamnya pengaruh agama terhadap jiwa. Sebagai salah satu cabang ilmu yang masih muda, ilmu Jiwa Agama sampai sekarang masih belum mendapat tempat yang wajar. Masih banyak ahli-ahli jiwa yang tidak mengakui adanya satu cabang Ilmu jiwa, yang berdiri sendiri, yang tidak yang khusus meneliti dan menyoroti masalah agama. Bahkan ada diantara orang-orang yang fanatik beragama, merasa takut akan berkurangnya penghargaan terhadap agama, apabila agama diteliti secara Ilmiah. Bahkan ada pula diantara ahli-ahli jiwa, yang merasa tidak perlu agama diteliti dan dipelajari dari segi psikologis, karena menurut anggapan mereka, metode-metode ilmiah-empiris tidak dapat digunakan terhadap agama.
Namun demikian, cabang Ilmu Jiwa yang masih muda itu tetap hidup dan berkembang untuk meneliti dan menjawab berbagai macam persoalan, yang ada sangkut pautnya dengan kenyakinan beragama. Berapa banyaknya peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang sukar untuk dimengerti tanpa menghubungkanya dengan agama.
Sebagai Contoh, mari kita perhatikan orang-orang dalam kehidupannya sehari-hari. Ada orang yang tampaknya tenang, bahagia dan suka menolong orang, padahal hidupnya sangat sederhana. Tengah malam ia bangun untuk mengabdi kepada tuhan. Sebaliknya ada orang yang tampaknya serba cukup, harta banyak, pangkat tinggi kekuasaan besar dan pengetahuab pun cukup, namun dalam hatinya penuh kegoncangan, jauh dari kepuasan, dirumah tangga selalu cekcok dan kehidupannya merupakan rangkaian dari kegoncangan dan ketidakpuasan.
Berapa banyak orang yang berubah jalan hidup dan kenyakinannya dalam waktu yang sangat pendek, dari seorang penjahat besar, tiba-tiba menjadi seorang yang baik, rajin dan tekun beribadah, seolah-olah ia dalam waktu yang singkatdapat berubah menjadi orang lain sama sekali. Dan sebaliknya juga ada terjadi, orang yang berubah dari patuh dan tunduk kepada agama, menjadi orang yang lalai atau suka menentang agama.  

C.   Hubungan Tasawuf dengan Ilmu Jiwa Agama
Dalam setiap akhlak dibutuhkan suatu penghayatan apakah akhlak itu baik atau buruk melalui kejiwaan kita sendiri dimana kita akan menilai seberapa kita mampu menjalankan segala sesuatu yang telah menjadi hak dan kewajiban kita sebagai muslim. Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spiritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak dapat terlepas dari kajian tentang kejiwaan manusia itu sendiri.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa akhlak tasawuf ialah suatu mendekatkan diri kepada Allah SWT sedekat mungkin melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan akhlak dalam segi agama akhlak tasawuf lebih mendalam lagi, karenanya dibutuhkan keyakinan dalam kejiwaan seseorang, dalam hal ini ialah ilmu jiwa agama yang meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya.
Dalam pembahasan tasawuf dibicarakan tentang hubungan jiwa dengan badan. Tujuan yang dikendaki dari uraian tentang hubungan antara jiwa dan badan dalam tasawuf adalah terciptanya keserasian antar keduanya. Pembahasan tentang jiwa dan badan ini dikonsepsikan para sufi untuk melihat sejauh mana hubungan prilaku yang diperaktekan manusia dengan dorongan yang dimunculkan jiwanya sehingga perbuatan itu terjadi, dari sini terlihatlah perbuatan itu berakhlak baik atau sebaliknya.
Ditekankanya unsur jiwa dalam konsepsi tasawuf tidak berarti mengabaikan unsur jasmani manusia. Unsur ini juga penting karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya dalam beribadah kepada Allah. Seorang tidak mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik dan sempurna selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik.
Pandangan mengenai jiwa berhubungan erat dengan ilmu kesehatan mental yang merupakan bagian dari ilmu jiwa (psikologi).
Tasawuf berusaha untuk melakukan kontak batin dengan tuhan bahwa berusaha untuk berada dihadirat Tuhan, sudah pasti akan memberikan ketentraman batin dan kemerdekaan jiwa dari segala pengaruh penyakit jiwa.
Tasawuf juga selalu membicarakan persoalan yang berkisar pada jiwa manusia. Hanya saja, jiwa yang dimaksud adalah jiwa manusia muslim, yang tentunya tidak lepas dari sentuhan-sentuhan keislaman. Dari sinilah tasawuf kelihatan identik dengan unsur kejiwaan manusia muslim.
Mengingat adanya hubungan dan relevansi yang sangat erat antara spritualitas (tasawuf) dan ilmu jiwa, terutama ilmu kesehatan mental, kajian tasawuf tidak terlepas dari kajian tentang kajian kejiwaan manusia itu sendiri.
Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang mampu merasakan kebahagiaan dalam hidup, dan pada mereka akan timbul perasaan tenang hatinya. Namun, bagi orang yang kurang sehat mentalnya hatinya tidak tenang sehingga menjauh dari Tuhannya. Ketidaktenangan itu menjelma menjadi prilaku yang tidak baik dan menyeleweng dari norma-norma yang ada.
Harus diakui, jiwa manusia seringkali sakit, ia tidak akan sehat sempurna tanpa melakukan perjalanan menuju Allah. Bagi orang yang dekat dengan Tuhannya, kepribadiannya tampak tenang dan prilakunya pun terpuji. Pola kedekatan manusia dengan Tuhannya inilah yang menjadi garapan dalam tasawuf, dari sinilah tampak keterkaitan erat antara ilmu tasawuf dan ilmu jiwa.
Semua praktek dan amalan-amalan dalam tasawuf adalah merupakan latihan rohani dan latihan jiwa untuk melakukan pendakian spritual kerah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, amalan-amalan tasawuf tersebut adalah bertujuan untuk mencari ketenangan jiwa dan keberhasilan ahli agar lebih kokoh dalam menempuh liku-liku problem hidup yang beraneka ragam serta untuk mencari hakekat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik.
Dengan demikian antara tasawuf dengan ilmu jiwa memiliki hubungan yang erat karena salah satu tujuan praktis dari ilmu jiwa adalah agar manusia memiliki ketenangan hati, ketentraman jiwa dan terhindar dari penyakit-penyakit psikologis seperti dengki, sombong, serakah, takabbur dan sebagainya.by,-